Label

Rabu, 26 Oktober 2011

danil.pacheco65@gmail.com 
VARIAN ISLAM YANG TERABAIKAN

Mistik Jawa adalah sufisme ala Islam Jawa. Dalam Islam, secara teologis, antara mistik dan sufi boleh saja berbeda. Namun, dalam aplikasi rohani Islam, keduanya sulit untuk dipisahkan, walaupun tentu saja tidak identik sama. Sementara bagi kalangan muslim Jawa, mistik dan sufisme sudah merupakan hal yang saling berkait, yang satu membutuhkan yang lain, sebagai kesatuan olah rohani / spiritual bagi muslim Jawa.

Yang dikemudian hari dinamakan sebagai sufisme Jawa, merupakan perpaduan antara mistik Jawa, yang sejak awal kelahiran bangsa ini, sudah in-hern dalam sistem kepercayaannya. Islam datang membawa nuansa rohani, yang secara substansial sudah merupakan hal yang menjadi esensi ajaran kejawen. Sehingga wajar jika kemudian Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia khususnya di Jawa yang mayoritas pada saat itu masih memeluk Hindu dan Buddha.


Sebelum kehadiran walisanga di tanah Jawa, Islam ternyata sudah dianut oleh sebagian masyarakat Jawa di bawah pemerintahan Kerajaan Majapahit. Bahkan di pusat ibukota majapahit, tepatnya di Trowulan dan di distrik Tralaya, Islam sudah dianut masyarakat sejak 100 tahun sebelum walisanga terbentuk, dan sebelum Demak menjadi kerajaan islam (Sholikhin, 2004b:302). Saat itu, islam berkembang menjadi agama penduduk secara kultural. Bahkan, memperhatikan kitab “Jangkabaya” gubahan Ranggawarsita, terdapat kesimpulan bahwa perkembangan Islam Kultural telah terjadi dengan pesatnya di Jawa sejak masa pemerintahan Prabu Jayabaya di Kediri yang naik tahta tahun 1135 M. Sementara masa-masa perintisan dakwah Islam terjadi dengan kehadiran Syekh Subakir, pada masa kekuasaan Raja Smaratungga (800 – 825 M). Islam yang datang pertama kali adalah Islam sufi-mistik, dan berkembang untuk pertama kali di pedalaman tanah Jawa.


Sufisme Jawa telah terbentuk, jauh sebelum para ulama sufi Islam dari Timur Tengah, India, dan Sumatera mengajarkan sufisme Islam ala Timur Tengah. Sayangnya, setelah pasca Demak, terdapat banyak upaya untuk mempertentangkan sufisme Islam Jawa dengan sufisme impor, yang kemudian sufisme Jawa hanya dibatasi sebagai mistik atau bahkan disebut-sebut “klenik”.


Sufisme Jawa, Tasawuf Jawa, atau apa yang dikenal sebagai mistik kejawen, yang merupakan sentral keberagamaan masyarakat muslim Jawa, merupakan ajaran sufisme yang telah berusia panjang. Puncak ajarannya yang kemudian disebut sebagai manunggaling kawula Gusti (menyatunya sifat-sifat Allah dalam Diri Manusia), merupakan ajaran sebagai puncak olah perilaku dan pengalaman spiritual pencarian diri sejati sebagai manusia yang sejati. Seorang salik dari masyarakat Jawa, yang tidak jauh berbeda dengan semangat spiritual, sebagai warisan ajaran Rasulullah, yang kemudian dielaborasi oleh imam-imam besar sufi seperti Syekh Abdul Qadir al-Jailani (wali yang banyak digemari masyarakat Jawa), Imam al-Ghazali (wali yang banyak digemari masyarakat pesantren), Syekh Manshur al-Hallaj (martir sufi pertama dalam sejarah mistik Islam), Syekh Ahmad al-Ghazali (penggagas mazhab cinta dan fana’ dalam sufi), Syekh ‘Ayna al-Qudda al-Hamadani (wali sufi martir Baghdad yang syahid pada usia 33 tahun), atau Syekh Syuhrawardi al-Maqtul al-Din al-Ayyubi, atas fatwa mati Gubernur Mesir Malik al Dzahir bin Shalah al-Din) (Sholikin:2004a, 66-67).


Mistik Islam-Jawa memang banyak diakui sebagai bentuk perpaduan spiritualitas Jawa yang berusia ratusan bahkan ribuan tahun sebelum Islam menyentuh tanah Jawa, dengan ajaran spiritual Islam yang datang di tanah Jawa sejak abad ke-11 M. Perpaduan ajaran spiritual itu, bukan bersifat merusakkan antara satu dengan yang lain, namun ibarat minuman “es campur” atau sajian makanan “gado-gado” yang makin menambah nikmatnya cita rasa, kemanisan rasa, dan nikmatnya santapan yang dihidangkan untuk dinikmati. Mistik Jawa dewasa ini berkembang bukan sekedar kebatinan Jawa, namun merupakan bentuk sufisme baru yang lahir bersamaan kehadiran Islam di tanah Jawa, yang tentunya sama absahnya dengan berbagai bentuk sajian sufisme Islam di berbagai kawasan.


Secara sosiologi dan antropologi keagamaan, sering sikap muslim Jawa yang telah berhasil memadukan mistik dengan sufisme tersebut, dikategorikan sebagai sinkretisme, yang kemudian timbul menjadi tradisi rakyat (Muchtarom, 1988:66). Namun, sebenarnya istilah sinkretisme tersebut hanylah dikenal oleh kalangan ilmuwan dan akademisi, dalam kacamata kajian akademik Barat. Bahkan, orang muslim Indonesia sendiri, dan orang Jawa khususnya, secara umum tidak pernah mempersoalkan antara “yang asli” Jawa dan “yang tidak asli” Jawa, atau “yang asli” Islam dengan “yang tidak asli” Islam.


Manusia Jawa secara ikhlas dan sepenuhnya sadar menerima kontak budaya spiritual itu sebagai suatu kesatuan, dan sebagai miliknya. Sehingga dari proses perjalanan yang demikian panjang itu, sejak abad ke-15 kemudian melahirkan karya-karya keagamaan dan sastra unggulan, dalam bentuk serat, suluk, dan primbon yang mencerminkan adanya sistem agama yang mandiri, dan independen dari agama-agama lain.


Agama Jawa itu tidak lain adalah Islam Jawa (Mark R. Woodward, 1999), yang memiliki corak keberagamaan khas spiritual mistik, sebagai poros utama keagamaan, yang tetap menyeimbangkan dengan perilaku lahiriah berdasarkan pada budi pekerti luhur, serta motto kehidupan yang utama “ngelmu iku kelokoni kanthi laku”. Dari sistem Islam Jawa yang memang termasuk sebagai salah satu varian besar Islam tersebut, maka kemudian wajar pula jika pada lingkup akademisi internasional, terdapat pengakuan adanya filsafat Jawa, yang merupakan bagian atau varian tersendiri di antara bentuk filsafat dunia (Abdullah Ciptoprawiro, 1986:30-31)


Yang terjadi pada Islam Jawa, sosok Nabi Muhammad bukan semata-mata dipahami sebagai seorang utusan Allah yang lahir di tanah Arab, namun di samping kepercayaan pribadi, lebih dari itu, Muhammad diposisikan pada substansi dalam arasy “Nur Muhammad”, yang dapat menyatu ke dalam setiap jiwa manusia, melalui pancaran Nur Muhammad tersebut, seseorang mampu memasuki kedalaman ruh al-idhafi, dan kemudian menyelami samudra ruh al-haqq, dan menyatu dengan al-Haqq. Seperti itu, cara pemeluk Islam Jawa mengaplikasikan keimanan kepada Rasul Muhammad, dan menafsirkan secara aplikatif, Muhammad sebagai “uswatun hasanah”


Islam Jawa merupakan bentuk “lokalisasi” atau “nasionalisasi” ajaran Islam yang sesuai dengan kultur masyarakat dan sistem kepercayaan Jawa, yang memang sejak awal kehidupannya, sudah memiliki benih-benih tauhid yang subur. Islam sebagai unsur global, dan Jawa sebagai unsur lokal menjadi inti atau lokus dari keseluruhan sistem Islam-Jawa, yang tentu saja pelacakan ajaran-ajaran dan ritual terhadapnya tidak bisa dilakukan dengan alat ukur Islam Timur Tengah, Islam India, atau Islam Persia. Jika Islam Timur Tengah dan Persia memiliki mainstream ajaran yang tertuang dalam aneka “kitab kuning” maka para ulama Islam Jawa menuangkan ajaran-ajarannya dalam berbagai kitab serat dan suluk, mujarrobat, dan babad sebagai kitab tafsir atas Al Quran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar